Antara
Toratima dan Likuifaksi.
Kopi ‘Aneh’ Pesaing Kopi Luwak.
Membumingnya kopi Luwak di bumi Nisantara
bukan hanya karena rasa tapi lebih disebabkan anehnya sistem pengolahan biji
kopi tersebut. Kopi Luwak merupakan biji kopi yang diambil dari sisa kotoran
luwak/musang kelapa. Kopi tersebut memiliki rasa berbeda dengan kopi hasil
petikan manusia dari pohonnya. Khas dari kopi luwak muncul setelah dimakan dan
melewati saluran pencernaan luwak. Aneh bukan?!
Tapi ada yang lebih aneh lagi, yakni kopi
Toratima. Kopi jenis ini hanya ada di Sulawesi Tengah. Kalau kopi Luwak
diperoleh dari kotoran Luwak, namun kopi Toratima adalah hasil pungutan petani
yang ditemukan berserakan di tanah. Konon, rasa dari kopi Toratima sangat khas,
beda dengan kopi Luwak. Bahkan kopi Toratima diperkirakan menjadi pesaing pasar
kopi Luwak. Wahhh…
Sebenarnya Toratima merupakan kopi jenis
robusta. Kopi robusta adalah komoditas unggulan petani di Sigi, sebelum kakao.
Dilansir netralitas.com, tulisan Tenaga
Ahli Direktorat PUED, menyebutkan bahwa kopi Toratima adalah hasil pungutan
dari biji kopi yang dibuang oleh binatang pemakan kopi—setelah kulitnya
disantap habis. Binatang itu adalah tikus, kelelawar, tupai/bajing, dan
lainnya. Hewan-hewan ini hanya memakan kulit kopi yang rasanya manis dan
merupakan kopi pilihan, sesuai seleranya. Lalu membuang bijinya di sembarang
tempat.
Biji kopi bekas santapan binatang tesebut
biasanya tersebar di tanah. Warna bijinya putih. Kemudian dikumpulkan dan
diproses secara tradisional. Biji kopi dicuci bersih, lalu ditiriskan,
disangrai, kemudian ditumbuk halus.
Desa Porelea di Kecamatan Pipikoro,
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah adalah penghasil kopi Toratima. Dalam bahasa
setempat, Toratima artinya “kopi yang dipungut”. Penamaan ini merujuk pada cara
pengumpulannya. Biji-biji kopi kering ini dikumpulkan dari atas tanah, baik di
kebun kopi maupun hutan.
Biji-biji kopi tersebut memang pilihan.
Secara alami, mamalia hutan, seperti kelelawar, tupai maupun tangali (sejenis
luwak) memilih biji kopi berkualitas, sesuai seleranya. Jadi, dapat dipastikan,
biji-biji kopi itu istimewa. Dari setiap rumpun kopi, hanya kopi terbaik yang
diambil untuk dimakan kulitnya. Inilah yang menjadikan Toratima menjadi kopi
yang sangat spesial, dengan aroma dan rasa yang khas.
Kopi merupakan komoditas tua di Porelea.
Namun, terbatasnya akses jalan turut menghambat dikenalnya kopi ini di daerah
lain. Butuh waktu sekitar 4 jam dari Kota Palu baru mencapai desa ini. Dan
sampai ke Kecamatan Pipikoro, hanya bisa menggunakan kendaraan roda dua.
Berbagai keunggulan komperatif Kopi
Pipikoro, patut dipertimbangkan menjadi komoditas unggulan. Kesiapan dan
persiapan produk unggulan akan seiring dan sejalan dengan program prioritas
Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi 2016-2021 yang mendorong adanya ODOP (one
distric One Product) melalui Industrialisasi dan UMKM.
Festival Kopi Pipikoro yang dilaksanakan
oleh Karsa Institute, Pemerintah Kecamatan Pipikoro, dan Pemerintah Desa
se-Kecamatan Pipikoro merupakan starting point untuk memulai revitalisasi kopi,
baik dalam kontek usaha budidaya perkebunan, maupun industri di Pipikoro.
Festival ini merupakan event pertama, terkait komoditas di Pipikoro, bahkan
Kabupaten Sigi.
Potensi
Kecamatan Pipikoro yang luasnya sekitar
956,13 km2 merupakan salah satu wilayah terisolir di Kabupaten Sigi. Padahal
posisi geografis wilayah ini sangat strategis, karena menjadi pembatas
Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah dengan dua provinsi sekaligus, yaitu
Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Pipikoro merupakan penghasil kopi terbesar
di Kabupaten Sigi. Menurut statistik ekonomi Kabupaten Sigi tahun 2016, jumlah
produksi kopi Pipikoro mencapai 152 ton pertahun, dari luas areal perkebunan kopi
639 Ha. Dengan tingkat produktivitas 420 Kg per hektar per tahun. Produktivitas
perkebunan kopi Pipikoro paling tinggi di kabupaten Sigi. Kecamatan Lindu hanya
mampu berproduksi 70 Kg per hektar pertahun, begitu juga Kecamatan Kulawi yang
hanya 66 Kg per tahun. (statisitik ekonomi kab. Sigi 2016).
Dipamerkan pada 2016
Dalam pameran potensi desa tingkat
Provinsi Sulawesi Tengah yang digelar di Desa Padende Kecamatan Marawola,
Kabupaten Sigi, 2016 lalu stan Kecamatan Pipikoro memamerkan potensi unggulannya
yakni Kopi Toratima.
“Kopi Toratima adalah hasil produk
Kecamatan Pipikoro asli, kopi ini berasal dari Kopi Robusta murni berkualitas
terbaik, karena memiliki aroma dan citarasa yang lezat,” kata Camat Pipikoro
Smar P Tapue, 20 Mei 2016 seperti dilansir mercusuarnews.com.
Katanya, kopi Toratima merupakan kopi
organik yang dihasilkan melalui sistem pertanian ramah lingkungan yang secara
turun temurun telah dipraktekkan para petani tradisional di dataran tinggi
Pipikoro.
“Kopi Toratima dibuat hanya dari biji-biji
kopi pilihan, yang dipungut dan dikumpulkan (tima) dari sisa pemisahan kulit
dan daging buah kopi yang di makan oleh binatang mamalia hutan seperti
kelelawar dan tupai,” jelasnya.
Kata dia, secara alamiah, binatang mamalia
ini hanya memilih buah kopi tertentu, buah kopi terbaik dari setiap tandan buah
kopi. Binatang mamalia ini hanya memakan daging buah kopi, memisahkan biji kopi
terbaik untuk dipungut menjadi kopi Toratima.
Menurut Smar, kopi Toratima merupakan
bagian dari tradisi untuk menjaga persaudaraan, tradisi untuk menikmati
waktu-waktu istimewa dan tradisi untuk menikmati kemurnian citarasa. *
Pengolahan Kopi ‘Pungut’ Toratima
Proses pengolahan kopi Toratima dilakukan
secara tradisional. Pengolahan manual tersebut dianjurkan demi mempertahankan
rasa dan aroma yang khas.
Sebelum melakukan pengolahan, petani lebih
dulu mencari dan memungut biji kopi yang terselip di balik dedaunan. Biji-biji
kopi itu dicari di bawah pohon kopi hingga semak. Hanya biji kopi buangan alias
sisa makanan tupai, tikus, kelelawar dan lainnya yang dipungut.
Setelah dikumpulkan, biji kopi tersebut
dicuci bersih, ditiriskan kemudian disangrai. Setelah diperkirakan matang biji
kopi kemudian dituang dalam lesung, selanjutnya ditumbuk gingga halus.
Menurut masyarakat petani, bila proses
penghalusan menggunakan mesin (penggiling) sangat tidak baik untuk kopi
Toratima. Katanya menggiling dengan mesin justru menghilangkan aroma khas
Toratima.
Usai ditumbuk, hasilnya yang halus
kemudian disaring memakai ayakan. Hasil ayakan yang halus itu selanjutnya siap
untuk diseduh. Penyajian kopi Toratima tergantung selera penikmatnya, ada yang
menambahkan gula pasir, ada pula yang tidak.
Di Kecamatan Pipikoro, kopi Toratima
sering disajikan untuk tamu, acara adat hingga kegiatan besar lainnya. Di
Kabupaten Sigi tak sedikit masyarakatnya petaninya ‘kecanduan’ kopi Toratima.
Warga yang sudah ‘terpelet’ rasa dan aroma Toratima menjadikan kopi tersebut
sebagai sajian wajib setiap hari. Saat pagi, siang atau sore hari mereka harus
menyeruput Toratima.
Tidak hanya rasa, aroma khas kopi Toratima
juga bikin ngiler. Dalam radius tertentu, aroma kopi Toratima yang sedang
disajikan atau pun diolah jelas tercium. Bagi yang pernah menyeruputnya, bisa
mengetahui kalau di sekitarnya ada yang sedang menyajikan atau mengolah kopi
Toratima.
Binatang Hama jadi Sahabat
Sebuah proses mata rantai. Bukan secara
tidak langsung, proses antara manusia dan hewan yang saling membutuhkan pun
terjadi dalam sistim perolehan kopi Toratima. Dimana binatang jenis pemakan daging
buah kopi akan terlindungi bahkan perlu untuk dilestarikan. Sebaliknya,
manusia, khususnya petani kopi membutuhkan keberadaan hewan liar sejenis tikus,
tupai, kelelawar dan lainnya.
Binatang-binatang hama yang musuh besar
petani kini justru menjadi binatang berjasa. Keberadaan hewan tersebut diangkat
sebagai sahabat petani. Betapa tidak, berkat hewan liar itu tercipta kopi
Toratima.
Berbeda dengan kopi Luwak. Pada 15
September 2013, bbc.com melansir bahwa Kopi Luwak Sebagai Kekejaman Hewan.
Konon, produksi kopi luwak mencerminkan kekejaman atas hewan, seperti
diungkapkan oleh penyelidikan BBC di kawasan Sumatra.
Kopi yang bercampur dengan kotoran musang
itu merupakan kopi berkualitas tinggi dan diekspor ke pasar-pasar internasional
dengan harga mahal.
Popularitas kopi ini antara lain meningkat
setelah masuk program TV terkenal di Amerika Serikat, Oprah Winfrey, dan dalam
film The Bucket List.
Di London, misalnya, harga secangkir kopi
luwak bisa mencapai £60 atau sekitar Rp900 ribu lebih untuk satu cangkir.
Namun penyelidikan yang dilakukan wartawan
BBC, Guy Lynn dan Chris Rogers, memperlihatkan bahwa musang-musang yang makan
biji kopi tersebut dikurung dalam kandang.
Dan para ahli yakin bahwa kopi luwak yang
dijual di London diproduksi dari musang kandang walau dipromosikan sebagai kopi
luwak yang berasal dari musang liar.
Gempa dan Likuifaksi, Semoga Bukan Kendala
Sudah hampir dua tahun pasca festival
kreatif kopi Sulawesi Tengah, diharap telah memberi dampak positif bagi brand
kopi lokal. Meski baru-baru ini terjadi peristiwa alam dahsyat yakni gempa bumi
merusak yang memicu likuifaksi di kabupaten kopi andalan yaitu Kabupaten Sigi.
Peristiwa yang menelan ribuan nyawa manusia itu diharapkan tidak memicu
penurunan brand bahkan semangat ‘pemikul’ brand kopi Sulteng.
Bencana alam yang baru dua bulan berlalu
itu semoga bukan sebuah aral yang berujung pada lenyapnya Toratima yang sudah
dihayalkan sebagai pembawa Provinsi Sulteng, secara khusus Kabupaten Sigi ke level teratas di dunia kopi.