Antara
Toratima dan Likuifaksi.
Menguak Identitas Kopi Lokal.
Kopi asal Sulawesi Tengah mulai
diposisikan menuju pasar global. Cukup jelas alasannya, selain sebagai salah
satu provinsi penghasil kopi, jenis kopi yang ditawarkan pun belum dimiliki
daerah lain di Indonesia.
Inisiatif yang berujung tersohornya Kopi
Sulawesi Tengah terselenggara pada 20-21 Mei 2017, melalui Festival Kopi
Kreatif Sulawesi Tengah di Baywalk Citraland Palu. Komunitas Pecinta Kopi Kota
Palu (Kapekape) yang menginisiasi kegiatan hingga melibatkan Badan Ekonomi
Kreatif (Bekraf) Indonesia itu. Dalam festival kreatif kopi Sulawesi Tengah
ini, ‘Menguak Identitas Kopi Lokal’ diangkat sebagai tema.
Pada Sabtu 20 Mei 2017, perwakilan bidang
pemasaran Bekraf Indonesia, Sempa Sirait, membuka kegiatan tersebut. Saat itu,
Kabupaten Sigi dan Poso diproyeksikan menjadi penghasil kopi unggulan. Dua
kabupaten tersebut merupakan sentra kebun kopi di Sulawesi Tengah.
Meski demikian, bukan berarti dari 13
kabupaten dan kota hanya dua kabupaten tersebut yang memiliki lahan perkebunan
kopi. Kabupaten lain pun memiliki perkebunan kopi, kecuali kota Palu.
Data Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi
Tengah tahun 2017, Kabupaten Sigi sebagai pemilik lahan kebun kopi terluas
yakni 2.648 hektar dengan hasil panen mencapai 419.200 kilogram. Dalam estimasinya,
Kabupaten Sigi mampu menghasilkan 809 kilogram biji kopi per hektar, dari
jumlah KK (Kepala Keluarga) petani 1.226.
Untuk Kabupaten Poso luas perkebunan
kopinya mencapai 1.494 hektar dengan hasil panen 984.900 kilogram. Petani kopi
di Poso mampu menghasilkan 1.210 kilogram biji kopi setiap hektarnya, dari
jumlah KK petani 1.461.
Dalam sejarah, penanaman kopi di Sulteng
sudah terbilang lama, yaitu sejak masuknya kolonialisme Hindia Belanda.
Pada Festival Kopi Kreatif tempo itu tidak
hanya menghadirkan pelaku usaha kopi, tapi juga petani kopi.
Menurut Sempa Sirait, potensi kopi
Sulawesi Tengah cukup besar untuk dihadirkan ke pasar global seperti halnya
Medan dengan kopi Singkala atau kopi Toraja dari Sulawesi Selatan.
Katanya, proses mengangkat brand kopi
lokal ke level internasional sangat tidak mudah, meski daerah itu memiliki khas
atau keunikan kopinya. “Namun melalui event ini (festival kopi kreatif) adalah
arah yang tepat,” ujarnya.
Sempa Sirait mengungkap contoh dari Medan.
Daerah tersebut katanya rutin menggelar festival kopi demi menaikkan brand kopi
Sangkala menuju dunia.
Demi melanjutkan langkah mengusung kopi
lokal Sulawesi Tengah ke dunia, menurutnya, tinggal bagaimana mengemas dan
memasarkan kopi lokal tersebut untuk lebih dikenal secara luas. Disebutkan
Sempa Sirait, ciri khas yang unik dari kopi Sulawesi Tengah perlu dipertahankan
bahkan ditonjolkan, karena itu yang akan menjual.
Sempa Sirait mengaku terkesan dengan
perkembangan kopi di Sulawesi Tengah yang menurutnya sangat baik. Tinggal bagaimana
upaya pemerintah lebih mendorong percepatan kemajuan usaha kopi dari hulu
hingga hilir.
Menyinggung kopi Toratima, Ia juga mengaku
terkesan. Katanya jika semua pihak terlibat, tidak terkecuali pemerintah, fokus
mengembangkan salah satu kopi lokal asal Kabupaten Sigi tersebut, brandnya bisa
bersaing bahkan tidak menutup kemungkinan mengalahkan kopi Luwak.
Penyelenggara kegiatan Neni Muhidin,
berkeinginan memperkenalkan lebih luas kopi asal Sulawesi Tengah via festival
tersebut. Menurut dia, sebagai provinsi terluas di pulau Sulawesi, Sulawesi
Tengah memiliki dataran tinggi di hampir seluruh daerahnya, yang merupakan
tempa tumbuh ideal bagi tanaman kopi.
Kata Neni, Kabupaten Sigi dan Poso adalah
pusat perkebunan kopi. Memang kota Palu bukan sebagai daerah perkebunan kopi
namun Kota Palu merupakan bagian akhir dari komoditi kopi, dimana warung-warung
kopi serta industri pengolahan biji kopi tumbuh dan berkembang di kota itu.
Selain untuk mengenalkan dan mengedukasi
masyarakat tentang kopi, festival itu menghadirkan petani kopi, penyuluh
pertanian, pedagang perantara, sektor industri, pengusaha warung kopi hingga
komunitas penikmat kopi.
“Itu merupakan mata rantai dari komoditi
kopi dari hulu hingga hilir,” jelas Neni.
Dalam festival itu dihadirkan Franky
Angkawijaya yang merupakan Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Barista Indonesia
pada sesi workshop edukasi kopi. Juga dua aktor film Filosofi Kopi, Chicco
Jerikho dan Rio Dewanto dalam sesi Coffee Talk.
Pada hari terakhir kegiatan, Minggu 21 Mei
2017, digelar acara seruput kopi massal dengan persediaan 3.000 orang.
Neni berharap, muara akhir dari festival
tersebut meningkatkan kesejahteraan semua pemangku kepentingan dalam mata
rantai kopi, dari petani hingga pengusaha kopi di Sulawesi Tengah. Karena
menurut dia kopi telah dipercaya oleh sebagian kalangan sebagai akronim dari
‘Karena Otak Perlu Inspirasi’.
Pemerintah Bantu Poktan Kopi
Upaya pemerintah dalam pengembangan kopi,
tahun 2017 semakin terlihat. Saat itu tercatat 180 hektar lahan perkebunan kopi
jadi prioritas Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah.
180 hektar kebun yang akan dibantu
pemerintah itu terdapat di dua wilayah di Kabupaten Sigi. “Dua daerah prioritas
tersebut adalah Bada dan Napu. 100 hektar untuk di Bada dan 80 hektar untuk
Napu,” ujar Moledon Rubi Kasubag Program Dinas Perkebunan Sulawesi Tengah.
Kepada wartawan pada 2017 silam.
Rubi mengungkapkan, sumber bantuan tersebut
adalah APBD dan APBN. “Dalam hitungan, 80 hektar sumber dana APBD, dan 100
hektar sumber dana APBN. Bantuan APBN itu diperuntukan pengadaan pupuk dan
pestisida,” ungkap Rubi di ruang kerjanya.
Merilis data daerah penghasil kopi di
Sulawesi Tengah, kata Rubi hanya Kabupaten Sigi dan Poso sebagai penghasil
serta pemilik lahan perkebunan kopi terluas. Kabupaten lain, kata dia, yakni
Donggala, Parigi Moutong, Morowali, Morowali Utara, Banggai, Bangkep, Banggai
Laut, Toli-toli, Buol dan Touna hanya memiliki luas lahan perkebunan rata-rata
di bawah 1.000 hektar.
“Bahkan ada kabupaten yang hanya memiliki
luas lahan perkebunan kopinya hanya 3 hektar, dengan jumlah petani yang
tercatat hanya 3 KK,” urainya.
Meski demikian, bukan berarti pemerintah
tidak melirik selain Kabupaten Sigi dan Poso, hanya saja pemerintah masih terus
mendata dan menunggu permohonan atau data kelompok tani (Poktan) riil dari
kabupaten-kabupaten lain.
“Kalau ada kabupaten lain memiliki lahan perkebunan kopi produktif,
pemerintah pasti membantu, bahkan memasukkannya dalam daftar prioritas,”
ucapnya.*Bersambung...